Jakarta – “Aku suka Rusia, bahasanya dan budayanya,” ujar Aminata, yang baru berusia 20 tahun, kepada DW. Ia ingin meninggalkan tanah kelahirannya, Sierra Leone, dalam beberapa pekan ke depan, untuk menempuh program magang di Rusia, 7000 kilometer dari tanah airnya.
Biaya perjalanannya akan ditanggung oleh program Alabuga Start, yang dinamai sesuai kawasan industri di barat daya Rusia, tempat para peserta program disediakan asrama.

Alabuga Start menawarkan prospek karier dengan penghasilan baik bagi para pelamar perempuan dari negara-negara kurang mampu.

Mimpi yang berantakan
Bagi kebanyakan dari mereka, mimpi itu hancur tak lama setelah tiba di Kawasan Ekonomi Khusus Alabuga sebuah kawasan industri besar di wilayah Tatarstan, Rusia.

Menurut laporan yang diterbitkan pada bulan Mei oleh Global Initiative against Transnational Organized Crime, banyak pendatang baru “dirantai” untuk merakit drone murah di bawah kondisi yang buruk.

DW menghubungi beberapa peserta program—kebanyakan dari mereka enggan berbicara terbuka demi alsan keamanan.

Chinara, seorang perempuan muda asal Nigeria yang ikut program Alabuga dan meninggalkan Rusia dengan penuh kekecewaan, bersedia diwawancarai melalui layanan pesan media sosial.

“Mereka mengubah kami menjadi pekerja berat dengan upah rendah,” tulisnya dalam obrolan dengan DW.

“Awalnya kami merasa baik karena saat melamar, kami ditawari bidang seperti logistik, pelayanan dan katering, operator derek,” kata Chinara, namanya disamarkan demi menjaga identitasnya.

Ia menjelaskan bahwa pada awalnya ini tampak seperti kesempatan langka bagi perempuan Afrika untuk menjejakkan kaki dalam profesi tersebut. “Namun saat kami tiba di sana, semuanya berubah dan mereka memberikan alasan-alasan.”

Sebagian ditugaskan di pabrik perakitan drone, sebagian mengawasi produksi drone, dan sisanya bekerja sebagai petugas kebersihan.

Perempuan muda ini terpapar bahan kimia yang “sangat berbahaya dan mengancam nyawa,” klaim Chinara, seraya menambahkan, “bahkan orang Rusia sendiri tak bertahan lama bekerja di sana karena tempat itu sangat berbahaya.”

Pusat ekonomi perang
Zona ekonomi khusus Alabuga adalah pusat produksi utama drone Geran-2, yang didasarkan pada Shahed 136 buatan Iran dan memainkan peranan kunci dalam serangan ke Ukraina.

Zona ini didirikan pada 2006 untuk menarik perusahaan dan investasi ke Tatarstan. Setelah invasi Rusia ke Ukraina pada 2022, fasilitas ini berkembang pesat dan sebagian diubah menjadi produksi militer dengan menambah atau merenovasi bangunan, seperti yang terlihat dari citra satelit.

Kelangkaan tenaga kerja sering dilaporkan dari Rusia yang dilanda perang. Di saat yang sama, pekerja migran dari belahan bumi selatan tampaknya menjadi fokus perekrut. Menurut data dari Sistem Informasi dan Statistik Antar Departemen Tunggal (SIISS), basis data resmi pemerintah Rusia, lebih dari 111.000 pekerja Afrika tiba di Rusia pada 2024—kenaikan 50% dibandingkan tahun pertama perang pada 2022.

Pertumbuhan paling pesat dicatat dari warga Kamerun, diikuti banyak lainnya dari Nigeria, Burkina Faso, Togo, Republik Afrika Tengah, dan Gambia.

Hampir semua negara ini muncul dalam studi Global Initiative terkait program Alabuga Start. Awalnya, menurut studi tersebut, yang direkrut terutama adalah perempuan Afrika berusia antara 18 hingga 22 tahun.

Program ini sejak itu diperluas ke negara-negara berkembang lain di Asia dan Amerika Latin, serta beberapa bekas republik Soviet.

Para penulis studi menganalisis data dan melakukan sekitar 60 wawancara antara Desember 2024 hingga Maret 2025.

Rekan penulis Julia Stanyard berkata kepada DW bahwa perempuan 16 tahun juga dipekerjakan untuk produksi drone oleh fasilitas pelatihan Politeknik Alabuga yang berada di lokasi produksi.

“Kondisi kerja sangat eksploitatif, perempuan muda bercerita bekerja berjam-jam di bawah pengawasan manajemen Alabuga. Mereka bekerja dengan bahan kimia yang membahayakan kesehatan,” kata Stanyard.

‘Putri kami bercerita tentang kerja paksa’
“Program ini tampaknya menyerupai bentuk eksploitasi tipu daya,” ujar Stanyard kepada DW. “Mereka tidak diberi tahu apa yang akan mereka produksi saat direkrut. Banyak gadis muda terjebak di Alabuga dan meninggalkan negara itu tampak mustahil.”

Di Zimbabwe, para orang tua khawatir dengan anak-anak mereka yang mendaftar secara online dan berangkat ke Rusia dengan tiket pesawat yang dibayar oleh Alabuga.

Seorang ibu dari seorang gadis di pedesaan utara Zimbabwe mengeluhkan penderitaan anaknya. “Dia ingin melanjutkan pendidikan teknis. Sekarang dia menceritakan tentang kerja paksa, hampir tidak diizinkan menggunakan ponsel dan dia diawasi ketat.

Dia belum menerima upah $1.500 yang dijanjikan,” katanya kepada DW. “Sekarang aku bahkan tak bisa membawanya pulang kembali.”

Seorang ayah dari gadis lain yang meninggalkan Zimbabwe ke Alabuga mengatakan kepada DW bahwa itu adalah mimpi buruk ketika program pelatihan yang seharusnya dapat dipercaya berubah menjadi “jebakan maut.”

Dan seorang ibu di ibu kota Zimbabwe, Harare, bercerita kepada DW tentang putrinya yang berusia 20 tahun di Alabuga, yang seharusnya menjalani pelatihan teknis.

“Tapi dia melakukan sesuatu yang sama sekali berbeda. Kami hampir tidak bisa berbicara dengannya, paspornya disita agar dia tak bisa melarikan diri,” kata perempuan itu kepada DW.

Interpol menyelidiki di Botswana
Di negara tetangga Botswana, program pelatihan kini menarik perhatian penyidik: Interpol turun tangan menyelidiki apakah Alabuga Start terlibat dalam perdagangan manusia.

“Topeng palsu Alabuga mulai sedikit retak,” kata Stanyard, mencatat beberapa negara—seperti Kenya, Uganda, dan Tanzania—semakin menyadari risiko program ini dan telah meluncurkan penyelidikan.

Program Alabuga Start tidak menanggapi permintaan dari DW untuk memberi tanggapan.

Garikai Mafirakureva di Zimbabwe dan Aleksei Strelnikov turut berkontribusi dalam peliputan artikel ini.

Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Jerman.

Diadaptasi oleh Ayu Purwaningsih

Editor: Hendra Pasuhuk

oke128

Slot demo